Pertama, lo harus tau dulu yang
namanya konsep sampling di Statistik. Jadi gini, untuk mengetahui karakteristik
dari suatu populasi, lo nggak harus ambil semua datanya, tapi cukup ambil
beberapa sampel aja. Untuk mengetahui kira-kira berapa rata-rata berat badan
temen-temen lo di satu sekolah misalnya, lo nggak perlu timbang semuanya, tapi
ambil beberapa sampel aja. Sama dengan perhitungan pemilu juga, untuk
mengetahui hasil dari 478.685 TPS (populasi), lo cukup mengambil sampelbeberapa
ribu TPS aja (sampel).
Jadi ketika lembaga survei
menghitung Quick Count, tentunya dia nggak perlu mengambil data dari seluruh
TPS, tapi dia cuma ambil sampel, misalnya 3.000-5.000 TPS aja.
Loh, kok nggak semuanya dihitung? Kalau kebetulan sampel yang
diambil itu beda banget sama populasinya gimana?
Nah, kalau metode samplingnya
nggak bener, emang mungkin banget sampel yang di ambil itu beda sama
populasinya. Tapi, kalau lembaga survey tersebut melakukan pengambilan
samplingnya bisa bener-bener mewakili populasi, harusnya sih data
perhitungannya akurat. Artinya, cukup mewakili data populasi yang sebenarnya,
dengan margin error yang sangat kecil. Contoh sampling yang nggak bener nih,
misalnya lo mau survei berat badan seluruh temen-temen lo di satu sekolah, tapi
sampel yang lo ambil semuanya cowok. Udah bisa dipastiin hasil surveinya ngaco
karena rata-rata cowok itu lebih berat dibandingkan cewek.
Apa aja metode sampling yang digunakan?
Untuk menghasilkan Quick Count
yang bener, lembaga survei harus bisa menentukan jumlah sampel yang pas. Kalau
terlalu sedikit, rentang errornya bisa tinggi. Tapi, kalau terlalu banyak juga
nanti biayanya terlalu mahal. Btw, kenapa kalau sedikit, rentang errornya
tinggi, coba? Ini mirip sama konsep Frekuensi Harapan atau expected values.
Kalau lo melempar koin 3 kali, bisa jadi tiga-tiganya angka. Tapi kalau lo
lempar 100 kali, hampir nggak mungkin seratus-seratusnya angka. Semakin banyak
lo melempar, semakin deket hasil statistiknya mendekati nilai peluang yang
sesungguhnya. Sampling juga gitu. Kalau lo ambil sampel yang banyak, maka dia
akan cenderung semakin dekat dengan data seluruh populasi.
Okay, jumlah sampel itu penting.
Tapi, apakah cuma itu aja? Ya enggak juga. Selain jumlah sampel, cara mengambil
sampel juga penting. Seperti contoh sampel berat badan di sekolah tadi.
Meskipun sampelnya banyak, tapi kalau semua sampelnya itu adalah cowok semua,
ya pasti nggak valid. Kalau gitu harus gimana dong? Nah, ada beberapa metode
nih. Nggak semua metode gue tulis di sini. Tapi, kira-kira beberapa metode di
sini bisa bikin lo ngebayangin lah konsep sampling yang bagus itu gimana.
Metode 1 : Random sampling
Ini adalah cara pengambilan
sampel yang random atau acak. Misalnya lo pengen tau rata-rata berat badan temen
sekelas. Kalau satu kelas ada 40, lo bisa nomorin seluruh anak di kelas
tersebut dari nomor 1 sampai nomor 40. Tinggal lihat daftar absen aja. Terus
untuk memilih secara acak, gimana caranya? Bisa pakai teknologi. Misalnya,
pakai Microsoft Excel, terus ketik ini:
“=RAND()”
Perintah itu akan menghasilkan
random numbers dari nol sampai satu. Kalau lo mau bikin random numbers dari
1-40, tinggal kaliin aja hasil random itu dengan 40, terus bulatkan ke atas
pakai fungsi "=roundup()". Jadi kalau digabung, bikin aja gini:
“=ROUNDUP(40*RAND())”
Itu akan bangkitin random numbers
dari 1-40. Kalau hasil perhitungan lo itu mengeluarkan angka 37, berarti siswa
nomor 37 di daftar absen jadi sampel lo. Terus hitung lagi. Misal, keluar angka
24, berarti siswa nomor 24 jadi sampel lo lagi. Dan seterusnya.
Pakai microsoft excel ini Cuma buat
contoh aja ya. Kalau lo mau pakai yang lain juga boleh. Misal, pakai kartu dan
kartunya itu lo nomorin dulu dari 1 sampai 40. Bisa macem-macem caranya. Yang
pasti, konsepnya harus sama, yaitu setiap anggota populasi punya probabilitas
yang sama untuk menjadi sampel. Nggak boleh ada satu anggota pun yang punya
probabilitas terpilih lebih besar dibanding yang lainnya.
Metode 2 : Systematic sampling
Selain random sampling, ada lagi
yang namanya systematic sampling. Misalnya, setelah seluruh data lo kasih
nomor, lo tentuin deh kira-kira mau ambil berapa sampel. Untuk contoh di bawah
ini, setiap kelipatan data ke-3, diambil jadi sampel:
Katanya sih, systematic sampling
ini lebih sering digunakan dibanding random sampling. Hasilnya seakurat random
sampling, tapi ngerjainnya lebih sederhana karena nggak perlu ngebangkitin
random numbers segala. Tapi kalau untuk Quick Count, biasanya lembaga survei
lebih memilih random sampling dibanding systematic sampling.
Metode 3 : Cluster sampling
Nah, cara sampling berikut ini adalah ngebagi populasi itu berdasarkan cluster-cluster. Misal, lo bagi 40 siswa di kelas berdasarkan tempat duduknya. Yang duduk di depan itu cluster nomor 1, berikutnya cluster nomor 2, dan seterusnya. Terus, lo tentuin secara random untuk ambil satu cluster aja. Kalau ternyata angka randomnya yang keluar itu 4 misalnya, berarti seluruh anggota di cluster nomor 4 itu menjadi sampel lu.
Metode 4 : Stratified sampling
Nah, ini dia nih yang sering
dipakai sama lembaga survei untuk Quick Count. Jadi gini konsepnya. Sebelum
ambil sampelnya, lo bagi dulu menjadi strata-strata. Contoh yang paling
sederhana nih kalau lo mau ambil sampel berat badan di sekolah, lo bagi aja
menjadi dua strata:
(1) Cewek
(2) Cowok
Misalkan jumlah populasi cewek
sama dengan jumlah populasi cowok. Berarti jumlah sampel yang lo ambil untuk
yang cewek dan jumlah sampel yang lo ambil untuk yang cowok, harus sama. Jadi
dari stratified sampling ini, lo akan mendapatkan dulu berapa rata-rata berat
badan setiap strata dulu, baru abis itu digabungin.
Stratified sampling ini akan
lebih berasa gunanya kalau setiap strata yang lo ambil punya jumlah anggota
yang beda-beda. Misal, lo lagi pengen neliti sesuatu di kelas, terus lo ambil
data gini:
(1) Cowok yang ikut bimbel, 140 orang.
(2) Cowok yang nggak ikut bimbel, 60 orang.
(3) Cewek yang ikut bimbel, 120 orang.
(4) Cewek yang nggak ikut bimbel, 80 orang.
Berarti gimana ngambil sampelnya?
Total populasi ada 400. Terus misalnya lo mau ambil sampel sebanyak 10% dari
populasi, yaitu 20 orang. Berarti masing-masing strata, lo ambil 10% dari
populasi strata tersebut. Misal, untuk cowok yang ikut bimbel, berarti 10% x
140 orang = 14 orang. Selengkapnya:
(1) Cowok yang ikut bimbel, 14 orang jadi
sampel.
(2) Cowok yang nggak ikut bimbel, 6 orang jadi
sampel.
(3) Cewek yang ikut bimbel, 12 orang jadi
sampel.
(4) Cewek yang nggak ikut bimbel, 8 orang jadi
sampel.
***
Nah, sekarang balik lagi ke Quick
Count. Emang gimana sih cara mereka mengambil sampelnya?mereka paling sering
menggunakan Stratified Random Sampling atau Multistage Random Sampling.
Multistage itu sebenernya mirip kayak cluster sampling, cuma lebih kompleks
aja. Kalau di cluster sampling di contoh di atas, kan cuma satu cluster yang
diambil, terus selesai. Nah, di multistage ini, si peneliti memilih secara acak
masing-masing elemen dari setiap cluster.
Jadi stage pertama, bikin
clusternya. Abis itu, baru tentuin elemen apa yang harus diambil dari cluster
tersebut itu. Kadang-kadang, cluster ini dibagi-bagi lagi menjadi beberapa
level. Pada Quick Count nih misalnya, level satu itu cluster per provinsi.
Level berikutnya cluster per kabupaten. Level berikutnya lagi tingkat RW.
Btw, orang-orang kadang suka
bingung bedanya stratified sama cluster karena kalau kita ambil strata
berdasarkan provinsi, itu juga bisa. Yang penting, nanti sampel yang lo ambil harus
disesuaikan dengan populasi masing-masing provinsi. Cuma pada stratified
sampling, sampel yang random itu diambil dari seluruh strata. Sementara pada
cluster sampling, cuma beberapa cluster aja yang dijadiin sampel.
kira-kira gitu lah cara kerja
para lembaga survei. Dengan konsep ini, mereka bisa ngambil 3000 TPS aja dari
478.685 TPS yang ada. Karena 3000 TPS itu sudah lumayan mewakili seluruh
populasi yang ada, dengan margin of error yang relatif kecil (sekitar 1%).
Jadi, secara matematis sebenernya nggak terlalu susah. Cuma memang biayanya
besar. Bayangin aja, kalau setiap satu TPS butuh biaya Rp400.000,- aja untuk
pencatatan dan lain-lainnya, berarti 3000 x Rp400.000,- = Rp1.200.000.000,-.
Butuh uang 1,2M sekali Quick Count! Jadi modalnya emang harus gede
Oke, jadi sejauh mana kita bisa percaya metode Quick Count
ini?
Metode Quick Count adalah metode yang terukur dan juga teruji secara ilmiah. Dengan asumsi pengambilan sample yang tepat, metode quick count bisa dipertanggung-jawabkan akurasinya dengan margin error yang kecil. Kalo kita mau lihat sejarah perhitungan quick count dari pemilu-pemilu yang udah pernah kita jalani sebelumnya, kita bisa melihat bahwa lembaga-lembaga survey yang sudah berpengalaman telah merepresentasikan perbandingan data yang sangat konsisten dan juga cukup akurat dari waktu ke waktu.
gimana sih cara kerja metode
quick count itu? Apakah secara garis besar kita layak untuk mempercayai sistem
seperti ini? Kalau ditinjau dari sudut pandang ilmiah, jawabannya: IYA kita
bisa cukup mempercayai metode ini. Terlepas dari itu, jika ditinjau dari sudut
pandang kepentingan politis memang ada kecenderungan metode ini tidak miliki
tingkat reliability dan validity yang bisa kita percaya 100%.
(Materi dikerjakan oleh: Rangga F)
0 komentar:
Posting Komentar